Bab 1
Pendahuluan
1. Latar belakang
Tak bisa dipungkiri anak adalah aset bangsa yang paling berharga.Sebagai
bagian dari generasi muda, anak berperan sangat strategis dalam pembangunan
bangsa, karena anak adalah sebagai pewaris bangsa yang nantinya akan menjadi
penerus cita-cita perjuangan bangsa sekaligus potensi sumber daya manusia bagi
pembangunan nasional. Anak merupakan modal pembangunan yang akan memelihara,
mempertahankan, dan mengembangkan hasil pembangunan yang ada. Oleh karena itu
anak memerlukan perlindungan dalam rangka menjamin pertumbuhan dan perkembangan
fisik, mental, dan sosial secara utuh, serasi, dan seimbang.
Masalah perlindungan hukum bagi anak merupakan salah satu sisi pendekatan untuk melindungi anak-anak Indonesia dari diskriminasi. Memang dalam pergaulan sehari-hari, masalah batas umur antara kata dewasa dan kata anak cukup menjadi problema yang rumit. Klasifikasi umur akan menentukan dapat tidaknya seseorang dijatuhi hukuman serta dapat tidaknya suatu tindak pidana dipertanggungjawabkan kepada si anak tersebut dalam lapangan kepidanaan. Secara umum klasifikasi yang ingin ditonjolkan sebagai inti dalam persoalan ini adalah kedewasaan, walaupun kedewasaan seseorang dengan orang lain tidak disamakan, tetapi dalam peristiwa hukum, klasifikasi ini akan selalu sama untuk suatu lapangan tertentu, karena menyangkut titik akhir yang ingin dicapai oleh para hakim dalam memutuskan suatu perkara.
Dalam masa kedewasaan seorang anak banyak mengalami keragu-raguan
dan menimbulkan kesulita-kesulitan yang tidak hanya terjadi pada dirinya tapi
juga pada keluarga, lingkungan dan lain sebagainya.Tentu hal itu di sebabkan
karena sifat individu manusia dalam suatu masyarakat khususnya pada seorang
anak yang selalu merasa tidak puas terhadap apa yang di dapatkanya, bahkan
kaidah-kaidah hidup dan peraturan-peraturan hukum yang ada ingin langgarnya.
Sudah lazim apabila setiap perbuatan pasti akan melahirkan
pertanggung jawaban dari si pelaku. Tanggung Jawab itu akan selalu ada,
meskipun belum tentu akan dituntut oleh pihak yang berkepentingan. Pada umumnya
seseorang bertangungjawab atas perbuatanya sendiri. Betapapun demikian, aturan undang-undanglah yang menetapkan siapa
saja yang di pandang sebagai pelaku yang bertanggungjawab itu(das sollen) .Walaupun
telah di tegaskan bahwa seseorang harus mempertanggungjawabkan perbuatan pidana
yang terjadi, namun langkah selajutnya adalah menegaskan apakah ia juga
memenuhi syarat yang di perlukan untuk sebuah nama pertanggungjawaban itu.
Pidana atau tidak pelaku bukanlah bergantung pada apakah ada
perbuatan pidana atau tidak, melainkan apakah pelaku tercela atau tidak karena
telah melakukan perbuatan pidana itu. Oleh karena itu, dapat di katakan bahwa
dasar dari adanya perbuatan pidana adalah asas legalitas, yakni asas yang
menentukan bahwa sesuatu perbuatan adalah terlarang dan di ancam dengan pidana
barang siapa yang melakukanya, sedangkan dasar dari di pidana atau tidak di pidananya sipelaku adalah ada dan
tidaknya kesalahan itu.
Dalam persepektif Islam, pertanggungjawaban pidana adalah
pembebanan seseorang dengan hasil (akibat) perbuatan yang di kerjakanya dengan
kemauan sendiri, di mana ia mengetahui maksud-maksud dan akibat-akibat dari
perbuatanya itu.
Dengan dasar ini, maka sebuah pertanggungjawaban pidana berlaku
atas tiga hal yakni (1) adanya perbuatan yang dilarang; (2) dikerjakan dengan
kemauan sendiri; dan (3) pelaku mengetahui akibat perbuatan tersebut.Dengan
demikian, bagi orang-orang dewasa yang berakal dan berkemauan sendiri berlaku
pertanggungjawaban pidana. Sebaliknya, tidak ada pertanggungjawaban pidana bagi
komunitas anak-anak, orang gila, dungu, orang yang sudah hilang kemauanya dan
orang yang berada dalam kapasitas terpaksa atau pun di paksa, untuk itu dalam
makalah kali ini saya akan mengulas kepenatan hati saya mengenai pertanyaaan
yang cukup besar yakni PERBEDAAN PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA ANAK MENURUT HUKUM
PIDANA KONSTITUSI UMUM DENGAN HUKUM JINAYAT
B. Rumusan Masalah
·
Bagaimana
ketentuan dan Pertanggungjwaban Hukum Pidana terhadap Tindak pidana yang di
lakukan oleh anak dalam Hukum Pidana Positif ?
·
Bagaimana
ketentuan dan Pertanggungjawaban Hukum Pidana terhadap Tindak pidana yang di
lakukan oleh anak dalam Hukum Pidana Islam?
·
Bagaimana
Persamaan dan Perbedaan Pertanggungjwaban Pidana anak dalam Persepktif Hukum
Pidana Positp dan Hukum Pidana Islam?
C. Tujuan dan
Manfaat Penulisan
A.Makalah ini bertujuan untuk mengetahui dan lebih memahami :
1.
Ketentuan
dan Pertanggungjawaban Hukum Pidana terhadap Tindak pidana yang di lakukan oleh anak dalam Hukum Pidana Positif.
2.
Ketentuan
dan Pertanggungjawaban Hukum Pidana terhadap Tindak pidana yang di lakukan oleh
anak dalam Hukum Pidana Islam.
3.
Persamaan
dan Perbedaan Pertanggungjawaban Pidana dalam Persepektif Hukum Pidana Positp
dan Hukum Pidana Islam.
BAB II
Pembahasan
1.Pertanggungjwaban
Pidana
a. Dalam
Hukum Positif
Pada
pasal 27 konsep KUHP 1982/1983 menyatakan pertanggungjwaban pidana adalah di
teruskanya celaan yang objektif ada pada tindak pidana berdasarkan hukum yang
berlaku secara obyektif kepada pembuat yang memenuhi syarat-syarat
undang-undang untuk
dapat di kenai pidana karena perbuatanya. Menurut Ahmad Bahnassi Pertanggungjawaban adalah akibat yang harus
diterima dari sebuah perbuatan sedangkan Menurut Prodjohamidjojo, seseorang
melakukan kesalahan jika pada waktu melakukan delik, dilihat dari segi
masyarakat patut di cela. Dengan
demikian, menurutnya seseorang mendapatkan pidana tergantung pada dua hal yaitu
(1) harus ada perbuatan yang bertentangan dengan hukum, atau dengan kata lain,
harus ada unsur hukum. Jadi, harus ada unsur Objektif, dan (2) terhadap
pelakunya ada unsur kesalahan dalam bentuk kesengajaan ,sehingga perbuatan yang
melawan hukum tersebut dapat di pertanggungjawabakan kepadanya. Jika dilihat dari penjelasan para pakar sarjana Hukum yang telah di
uraikan maka Pertanggungjawaban pidana setidaknya harus memikirkan tiga hal penting
yakni pertama, kemampuan bertanggungjawab dari pelaku atau keadaan psikis
pelaku. Kedua adanya hubungan sikap batin pelaku dengan perbuatanya, yaitu
adanya faktor kesengajaan dan kealpaan, dan ketiga ada tidaknya alasan-alasan
yang menghapuskan pertanggungjwaban pidana dari pelaku Dengan demikian antara
keadaan psikis dengan perbutan yang di lakukan merupakan hubungan yang erat,
maka untuk lebih jelasnya perlu di adakan pemisahan, guna dapat di tinjau lebih mendalam. Dengan demikian, maka anak yang melakukan perbuatan pidana, tidak
mempunyai Kesalahan karena dia sesungguhnya belum mengerti atau belum
menginsyafi makna perbuatan yang di lakukan. Anak memiliki ciri dan
karekteristik kejiwaan yang khusus, yakni belum memiliki fungsi batin yang
sempurna. Maka, dia tidak di pidana karena tidak mempunyai kesengajaan atau
kealpaan. Sebab, salah satu unsur kesalahan tidak ada padanya, karenanya dia di
pandang tidak bersalah sesuai dengan asas tidak di pidana jika tidak ada
kesalahan, maka anak yang belum cukup umur ini tidak di pidana.
B. Dalam Hukum Islam
Hukum Islam mencakup aspek yang sangat luas, mulai dari aturan yang
menyangkut hubungan pribadi manusia dengan tuhanya maupun aturan main sesama
manusia itu sendiri. Salah satu Prinsip dalam Syariat Islam adalah seseorang
tidak bertanggungjawab kecuali terhadap jarimah yang telah di perbuatnya
sendiri dan bagaimanapun juga tidak bertanggungjwab atas perbuatan jarimah
orang lain. Arti pertanggungjawaban pidana sendiri dalam syariat Islam ialah
pembebanan seseorang dengan hasil (akibat) perbuatan yang di kerjakanya dengan
kemauan sendiri, di mana ia mengetahui maksud dan akibat dari perbuatanya itu.
Pertanggungjawaban Pidana tersebut di tegakkan atas tiga hal yaitu
:
1. Adanya perbuatan yang di larang
2. Di kerjakan dengan kemauan sendiri
3. Pembuatnya mengetahui terhadap akibat perbuatan tersebut(sudah
tau hukumnya)
Kalau ketiga aspek tersebut dimiliki oleh seorang dalam suatu
perbuatan, maka akan terdapat pertanggungjawaban pidana namun apabila aspek
tersebut tidak terpenuhi maka seseorang tidak dapat dimintakan
pertanggungjawaban pidana. Dengan adanya syarat tersebut terlihat bahwa yang
dapat di bebani pertanggungjawaban hanyalah orang dewasa, yang mempunyai akal
pikiran yang sehat serta mempunyai kemauan sendiri (sadar). Dan pertanggungjawaban pidana di bebankan kepada seseorang selain
anak-anak sampai ia mencapai usia puber.
C. Pengertian Anak dan Batas Usia Anak
Ditinjau dari aspek yuridis maka pengertian “anak” di mata hukum
positif (Pasasl 45 KUHP) Indonesia lazim di artikan sebagai orang yang belum
dewasa/ orang yang di bawah umur. Dengan batasan umur 16 tahun. Terhadap hal
ini baik secara teoritik dan praktek maka apabila anak melakukan tindak pidana,
hakim dapat menentukan anak tersebut dapat dikembalikan kepada orang
tuanya,wali atau pemeliharanya tanpa penjatuhan pidana, diserahkan kepada
pemerintah tanpa pidana sebagai anak Negara atau juga dapat dijatuhi pidana.
akan tetapi ketentuan pasal 45 tersebut berdasarkan ketentuan pasal 47 UU No.3
Tahun 1997 dinyatakan tidak berlaku lagi. Sedangkan apabila ditinjau batasan
anak dalam KUHP sebagai korban kejahatan sebagaimana Bab XIV ketentuan Pasal
287, 290, 292, 294, dan 295 KUHP adalah berumur kurang dari 15 (lima belas)
tahun.
Berdasarkan ketentuan pasal
330 kitab undang –undang hukum perdata maka yang di sebut anak adalah mereka
yang belum mencapai umur genap 21 tahun dan belum pernah kawin. Menariknya lagi, pada pasal 1 ayat (2) UU No. 3 Tahun 1997,
undang-undang ini memberikan batasan anak nakal, yakni (1) anak yang melakukan
tindak pidana; (2) anak yang melakukan perbuatan yang dinyatakan terlarang bagi
anak, menurut peraturan perundang-undangan maupun menurut peraturan hukum lain
yang hidup dan berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan.
Batasan Anak dalam Islam
Para ulama mengklasifikasikanya ke dalam bentuk usia anak, yakni
sebagai berikut :
1.
Usia
belum mummayiz. periode ini di mulai
dari sejak kelahiran sampai usia tujuh tahun. Kalaupun kemampuan berpikir sudah
dimiliki oleh anak, apalagi hal itu sangat di pengaruhi oleh kondisi lokalitas
sebuah daerah, namun pada periode ini anak-anak tetap belum mampu membedakan
mana yang baik mana yang buruk.
2.
Usia mumayyiz Periode ini di mulai sejak usia
tujuh tahun sampai menjelang tanda-tanda baligh. Kaum anak yang telah mencapai
taraf demikian di pandang telah baligh( dewasa), meskipun boleh jadi ia belum
dewasa dalam arti yang sebenarnya. Kalau tindak pidana terjadi pada periode
tersebut, maka pertanggungjawaban pidana tidak juga berlaku. Bagi mereka hanya
di kenakan hukuman takzir yang di peruntukan untuk pengajaran dan bukan hukuman
pidana.
3.
Usia
baligh, yakni ketika mencapai taraf usia baligh. Sebagian ulama berpendapat
pada usia lima belas tahun atau delapan belas tahun. Tidak hanya usia demikan,
pada taraf ini telah tercapai kematangan fisik dan non fisik sebagai seorang
remaja yang sempurna. Maka, dalam konteks ini
baik laki-laki dan perempuan, tetap di kenakan pertanggungjawaban pidana.
D. Anak Yang Melakukan Perbuatan Pidana
Menurut kamus
bahasa Indonesia, kata pidana berarti hukum kejahatan tentang pembunuhan,
perampokan, korupsi dan sebagainya. Pidana juga berarti hukuman. Pidana definiskan sebagai suatu penderitaan yang sengaja di jatuhkan/di berikan oleh
Negara pada seorang atau beberapa orang sebagai akibat hukum (sanksi) atas perbuatanya yang telah melanggar
larangan hukum pidana.
Wujud-wujud
penderitaan yang dapat di jatuhkan oleh Negara itu telah di tetapkan dan di
atur secara rinci, baik mengenai batas-batas dan cara menjatuhkan serta dimana
dan bagaimana cara menjalankanya. Mengenai wujud jenis penderitaan itu di muat
dalam pasal 10 KUHP.
Anak nakal yang
belum berumur 12 (dua belas) tahun dan melakukan tindak pidana sebagaimana yang
di maksud dalam pasal 1 angka 2 huruf A UU No. 3 tahun 1997 tentang pengadilan
anak. Yang di ancam dengan pidanapenjara sementara waktu tetapi tidak di ancam
dengan hukuman mati/seumur hidup akan tetapi di kenakan sanksi berupa tindakan.Untuk
dapat di ajukan kedepan sidang pengadilan anak, maka anak nakal minimum telah
berumur 8 ( delapan) tahun dan maksimum 18 ( delapan belas) tahun. Sementara anak yang belum berumur 8 (delapan) tahun, walaupun melakukan tindak pidana belum dapat
di ajukan ke sidang pengadilan anak. Ini di dasarkan pada pertimbangan
sosiologis, psikologis dan paedagogis, bahwa anak yang belum berumur 8 ( delapan tahun itu belum dapat
mempertanggungjawabkan perbutanya).
Dalam pasal 99 Naskah rancangan KUHP yang
baru kemungkinan yang dapat dijatuhkan terhadap seorang anak yang melakukan
tindakan pidana yaitu :
1. Pidana pokok
bagi anak terdiri dari :
A. Pidana nominal
I. Pidana Peringatan
II. Pidana Teguran Keras
B. Pidana dengan Syarat
I. Pidana Pembinaan diluar lembaga
II. Pidana Kerja sosial
III. Pidana pengawasan
C. Pidana Denda
D. Pidana Pembatasan Kemerdekan
I. Pembinaan dalam lembga
II. Pembayran ganti rugi
2. Pidana
Tambahan
a. Perampasan Barang tertentu
b. Pembayaran ganti rugi
Dalam pasal 106 KUHP diatur tentang
pengurangan pidana pembtasan kebebasan, yang dikenakan kepada anak adalah
paling lama seperdua dari maksimum pidana penjara yang diancam terhadap orang dewasa.
BAB
III
Penutup
A.
Kesimpulan :
1. Pertanggungjawaban pidana atas tindak pidana yang di lakukan
anakanak dalam persepktifhukum pidana positif di kenal dengan kriminal
responsibility berlaku sebagaimana lazimnya pada orang dewasa. Hanya saja
tindak pidana tersebut di golongkan kepada perilaku anak akal, sehingga anak
sebagai pelaku pidana teresebut sebagai anak nakal. UU No.3 tahun 1997 tentang
Pengadilan Anak mengatur tentang mekanisme peradilan anak, baik dalam konteks
hukum materil maupun hukum formil.
2. Pertanggungjawaban pidana atas tindak pidana yang di lakukan
anakanak dalam perspektif hukum pidana Islam di kenal dengan istlah
almas’uliyyah al-jinayyiah berlaku sebagaimana lazimnya pada orang dewasa.
Hanya saja terdapat pembatasan keberlakuanya yang di sesuaikan dengan umur anak
dan kematangan pola pikir anak. Dua kategori penting yang harus di perhatikan
adalah adanya unsur iradah ( keinginan/maksud) dan ikhtiyar ( kompetensi).
3. Persamaan antara hukum pidana positip dengan hukum pidana Islam
adalah bahwa kondisi masa kanak-kanak merupakan alasan pembenar untuk
mengurangi dan menghapuskan hukuman. Kedua system hukum juga sama dalam
memandang adanya batasan tetentang usia yang termasuk kategori kanak-kanak.
Akan tetapi di temukan perbedaan antara hukum pidana positif dan hukum pidana
islam bahwa hukum dalam hukum pidana positip, khususnya dalam UU No, 3 tahun
1997 tentang pengadilan anak telah menggariskan batas usia seoarang dalam
kategori anak nakal, yakni minimal 8 ( delapan ) tahun maksimal 18 (delapan
belas) tahun. perubahan positif semakin kelihatan pada RUU KUHPidana yang
secara tegas mencantumkan pertimbangan psikologi anak, termasuk kematangan
emosional, intelektual, dan mental. Pertimbangan-pertimbangan ini patut di
berikan dalam menyelesaikan perbuatan pidana yang di lakukan oleh anak-anak.
Hal yang lebih menarik adalah pencantuman batas usia pertanggungjawaban anak
yang telah mencapai usia 12 (dua belas) tahun sampai usia 18 ( delapan belas )
tahun. Batas usia ini muncul sebagai konsekuensi pembatasan usia dengan melihat
kencenderungan perkembangan psikologis anak. Dan menurut persepektif hukum
pidana Islam bahwa hukum pidana Islam memandang batas usia tidak serta merta
menjadi alasan penjatuhan hukuman, selain usia hal kematangan pola pikir dan
mental rohani turut menjadi faktor penting dalam mengkualifikasi status sebagai
anak.
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahim
Segala Puji dan syukur Penulis panjatkan atas kehadirat Allah SWT,
karena atas rahmat dan karunia-Nya Penulis dapat menyelesaikan makalah ini
dengan baik, juga shalawat beriring salam Penulis persembahkan kepada Nabi
Muhammad SAW yang telah banyak memberikan perubahan dalam sejarah perkembangan
kehidupan manusia.
Makalah ini berjudul “PERBEDAAN PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA ANAK MENURUT
HUKUM PIDANA KONSTITUSI UMUM DENGAN HUKUM JINAYAT “ disusun sebagai salah satu
syarat akademis untuk mengikuti Ujian Tengah Semester studi sarjana di Fakultas
Hukum Universitas Islam Indonesia. Proses penyelesaian makalah ini tidak
terlepas dari bimbingan dan doa dari berbagai pihak, dalam kesempatan ini
Penulis mengucapkan terima kasih sebesarbesarnya kepada semua pihak yang telah
mendukung sehingga saya bisa menyelesaikan makalah ini. semoga makalah ini
bermanfaat bagi orang banyak khusunya bagi diri saya pribadi, tak lupa saya
selaku penulis mohon maaf jika makalah ini banyak kekurangan dan kesalahan
karena manusia adalah sumber dari kesalahan,tak lupa penulis juga mengharapkan
kritik yang membangun demi kemajuan kita bersama.
Penyusun
MAKALAH
PERBEDAAN PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA ANAK MENURUT HUKUM PIDANA
KONSTITUSI UMUM DENGAN HUKUM JINAYAT
DISUSUN
OLEH :
M. NUR LAILI DWI KURNIYANTO
12410463
UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA
2012
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Ahmad Hanafi.Azas-azas Hukum Pidana Islam ( Jakarta: PT.Bulan Bintang,1967)
Bahnassi, Ahmad Fathi, “Criminal Responsibilty in Islamic Law”,
dalam M.Cherif Bassiouni (ed)… The Islamic Criminal Justice System ( New York :
Oceana Publication, 1982)
Djoko Prakoso, Pembaharuan
Hukum Pidana di Indonesia , Edisi
Pertama, ( Yogyakarta :
Liberty Yogyakarta ,1987)
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, kamus Besar Bahasa Indonesia(
Jakarta: Balai Pustaka,1994)
B.
UNDANG-UNDANG
UU No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak
UU No.4 tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak
Keputusan Presiden RI No 36 Tahun 1990 mendefinisikan anak sebagai
manusia yang umurnya belum mencapai 18 (delapan belas ) tahun.
Undang-undang No.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
UU No 39 Tahun 1999 tentang
HAM
INTERNET
http// repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/27786/.../Chapter%20II.pdf
(pengertian anak dan hukum pidana anak dalam islam)
0 komentar:
Posting Komentar