Pengaruh Nilai-Nilai Kearifan Lokal Upacara Adat Labuhan Labuhan Merapi Terhadap Perilaku dan Ajaran Agama Islam Masyarakat Lereng Merapi


Pengaruh Nilai-Nilai Kearifan Lokal Upacara Adat Labuhan Labuhan Merapi Terhadap Perilaku dan Ajaran Agama Islam Masyarakat Lereng Merapi

M. Yasin al-Arif, M. Nur Laili Dwi Kurniyanto, Alan Bayu Aji, Cahyo Hening Wahyu Rino, Arif Setiawan


Ilmu Hukum, Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia Jl.Tamansiswa No.158 Jogjakarta, HP 085743192785 Email: yasinfhuii@gmail.com

Abstrack

Penelitian tentang “Pengaruh Nilai-Nilai Kearifan Lokal Upacara Adat Labuhan Merapi terhadap Perilaku dan Ajaran Agama Islam Masyarakat Lereng Merapi” ini, dilatar belakangi oleh fenomena upacara adat labuhan yang dipandang sakral oleh masyarakat sekitar. Ritual tersebut diyakini sebagai wujud persembahan kepada penunggu merapi atas rasa syukur karena limpahan rizki yang diberikan oleh tuhan. Di sisi lain penelitian ini juga didorong oleh minimnya penelitian–penelitian sejenis maupun literatur yang mengupas secara detail upacara adat Labuhan Merapi, sehingga menyebabkan kurangnya pemahaman masyarakat akan maksud tujuan, dan makna yang terkandung di dalam upacara adat tersebut. Di dalam penelitian ini peneliti mencoba menggali dan mengaitkan nilai-nilai yang terkandung di dalam upacara adat tersebut secara detail serta kaitannya dengan ajaran agama Islam yang berkembang di dalam masyarakat dengan harapan dapat memecah kebuntuan masyarakat akan makna, maksud dan tujuan upacara adat tersebut .

Penelitian ini termasuk dalam kategori jenis penelitian Kualitatif – Empirik dengan sumber data primer dan sekunder. Pendekatan dalam penelitian ini berupa pendekatan filosofis dan antropologis yaitu melihat fenomena obyek yang dikaji dari dimensi nilai-nilai filosofi dan nilai-nilai budaya masyarakat setempat (lokal). Analisis yang dipakai dalam penelitian ini adalah analisis isi. 

Target yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah terkuaknya hubungan ajaran Agama Islam dan Upacara Adat Labuhan Merapi di Yogyakarta yang selama ini sering terjadi perbedaan pemahaman atau disparitas di dalam masyarakat, adapun luaran yang diharapkan dari penelitian ini adalah dapat membuka wawasan khususnya bagi peneliti dan masyarakat pada umumnya terhadap budaya-budaya lokal, sehingga dapat menjadikan masyarakat lebih paham akan maksud, tujuan, serta makna filosofi yang terkandung di dalamnya.Peneliti juga berharap dengan penelitian ini dapat membuat kita lebih mencintai dan mengerti akan pentingnya budaya-budaya lokal di Indonesia khususnya Adat Labuhan Merapi Di Yogyakarta sehingga budaya tersebut tetap lestari tidak hilang ditelan oleh waktu.

Kata-Kata Kunci : Masyarakat Lereng Merapi, Upacara Adat Labuhan Merapi, Nilai-Nilai Kearifan lokal


PENDAHULUAN

1. Latar Belakang
Penelitian tentang “Pengaruh Nilai-Nilai Kearifan Lokal Upacara Adat Labuhan Merapi Terhadap Perilaku dan Ajaran Agama Islam Masyarakat Lereng Merapi” menarik untuk dikaji didasarkan pada tiga hal. Pertama, upacara ini merupakan kegiatan rutin yang dilaksanakan tiap tahun oleh warga masyarakat Yogyakarta di lereng Gunung Merapi. Upacara adat ini sebagai salah satu budaya yang dianggap sakral oleh masyarakat. Sebab upacara tersebut konon diperuntukan kepada Kiai Sapu Jagad sebagai penunggu merapi. Walaupun hal ini masih sering dianggap sebagai mitos. Selanjutnya, upacara adat ini dimaksudkan sebagai ungkapan rasa syukur atas pemberian rizki kepada masyarakat Yogyakarta, berupa keselamatan, kesehatan, kemakmuran serta kesuburan tanah Yogyakarta khususnya di daerah lereng merapi. 

Kedua, menyadari bahwa penduduk negara Indonesia sebagian besar adalah masyarakat adat yang tersebar di berbagai provinsi, tentunya setiap masyarakat adat tersebut mempunyai ciri khas kebudayaan yang berbeda di setiap daerahnya masing-masing. Walaupun di setiap daerah mempunyai upacara adat, namun dalam pelaksanaan dan penamaan upacara adat tersebut berbeda-beda. Secara leterlijk upacara adat biasanya dipahami sebagai warisan sakral dari nenek moyang mereka. Tetapi menjadi pembahasan yang baru dan aktual ketika mampu memahami secara filosofis makna-makna yang terkandung dalam upacara adat tersebut. Dari sekian banyak upacara adat yang ada di Nusantara (baca: Indonesia) peneliti tertarik dan menfokuskan untuk meneliti upacara Labuhan di Yogyakarta, khususnya masyarakat Lereng Merapi. Karena kajian tentang ini sangatlah sedikit, kalaupun ada, belum menguraikan secara detail tentang upacara adat Labuhan.

Ketiga, upacara adat Labuhan jika dilihat dari segi historis tidaklah terlepas dari sejarah keberadaan kerajaan Mataram Islam. Terutama hubungan antara raja pertama kerajaan Mataram Islam Sutawijaya dengan penunggu merapi yang terlibat dengan sebuah perjanjian, yang konon berisi tentang kewajiban Sutawijaya dan keturunannya untuk memberi sesaji kepada penunggu merapi, dalam konteks ini adalah ‘Kyai Sapu Jagad’, dan sebagai imbalannya rakyat Mataram akan dilindungi dari bencana, penyerahan sesaji ini diwujudkan dalam bentuk Upacara Labuhan Merapi, yang diselenggarakan setiap tahun sekali pada tanggal 25 bulan Ba’da mulud (Maulid Akhir)[1]. Kemudian, di dalam proses upacara adat tersebut terdapat sembilan macam uba rampe, yang memiliki simbol dan makna masing-masing, adapun uba rampenya sebagai berikut :Sinjang Kawung, Sinjang Kawung Kemplang, Desthar Daramuluk, Desthar Udaraga, Semekan Gadung Mlati, Semekan Gadung, Seswangen, Arta Tindih, dan Kampuh Paleng. Berbagai macam uba rampe tadi nantinya akan diarak menuju Gunung Merapi dan akan disemayamkan di rumah juru kunci Gunung Merapi. Dari adanya uba rampe dan mitos perjanjian tersebut peneliti ingin mencoba mengaitkan dan mengkaji makna filosofi yang terkandung di dalamnya dengan ajaran Islam dan mengupasnya secara mendalam.

Dari tiga alasan yang telah diuraikan di atas, maka penelitian ini penting dilakukan karena dapat menguak hubungan ajaran Agama Islam dan upacara adat labuhan Merapi di Yogyakarta yang selama ini sering terjadi perbedaan pemahaman atau disparitas didalam masyarakat serta diharapkan dengan penelitian ini dapat membuka wawasan khususnya bagi penulis dan bangsa Indonesia pada umumnya terhadap budaya-budaya lokal, sehingga dapat lebih mencintai dan mengerti akan pentingnya budaya-budaya lokal di Indonesia khususnya Adat Labuhan Merapi Di Yogyakarta.


2. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian pada latar belakang masalah di atas, rumusan masalah dalam penelitian ini adalah :

1. Bagaimanakah hubungan makna filosofi yang terkandung di dalam Upacara adat labuhan Merapi dengan ajaran Islam?
2. Bagaimana pengaruh upacara adat Labuhan terhadap Ajaran Islam di masyarakat sekitar?
3. Apa nilai-nilai kearifan lokal yang terkandung dalam upacara adat Labuhan Merapi?


METODE PENELITIAN
Metode penelitian ini dijabarkan sebagai berikut: 
1. Obyek Penelitian
Obyek penelitian ini adalah Upacara adat Labuhan Merapi yang dipandang sakral oleh masyarakat Yogyakarta.

2. Sumber Data
Sumber data dalam penelitian ini dibagi menjadi dua kelompok:
a. Data Primer: Data primer dalam penelitian ini diperoleh melalui wawancara warga sekitar lereng Gunung Merapi tepatnya di Desa Kinah Rejo dan sekitarnya maupun orang-orang yang relevan (Tokoh Adat,Tokoh Agama, dan Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata) untuk menggali informasi sedalam-dalamnya mengenai masalah yang sedang dikaji.
b. Data Sekunder: berupa buku literatur e/jurnal, artikel, makalah, dan buku-buku yang terkait dengan penelitian.

3. Instrumen Penelitian
Dalam penelitian kualitatif, yang menjadi instrumen atau alat penelitian adalah peneliti itu sendiri sehingga peneliti harus “divalidasi”. Validasi terhadap peneliti, meliputi; pemahaman metode penelitian kualitatif, penguasaan wawasan terhadap bidang yang diteliti, kesiapan peneliti untuk memasuki objek penelitian baik secara akademik maupun logikanya (Sugiono,2009:305).Peneliti kualitatif sebagai human instrumen berfungsi menetapkan fokus penelitian, memilih informan sebagai sumber data, melakukan pengumpulan data, menilai kualitas data, analisis data, menafsirkan data dan membuat kesimpulan atas temuannya (Sugiono,2009:306).

4. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan tiga cara, yaitu:
a. Wawancara 
Wawancara dilakukan secara mendalam dengan menggunakan pedoman wawancara yang memuat aspek-aspek riset secara rinci. Dengan teknik ini akan digali adat selangkap-lengkapnya mengenai apa yang diketahui, apa yang dialami dan apa yang ada dibalik pandangan, pendapat dan atas perilaku yang akan diobservasi.
b. Observasi
Selain wawancara, digunakan pula observasi yaitu melakukan pengamatan dan partisipasi langsung dalam kegiatan upacara labuhan di Lereng Gunung Merapi. 
c. Studi Pustaka 
Studi pustaka adalah suatu pembahasan yang berdasarkan pada buku-buku referensi yang bertujuan untuk memperkuat materi pembahasan dengan mengambil data-data dari museum, perpustakaan atau sasana budaya.

5. Validitas Data
Untuk mendapatkan data yang dapat dipertanggung jawabkan, maka dari data-data yang telah ada terlebih dahulu dilakukan pemeriksaan keabsahan. Untuk memeriksa keabsahan data, penelitian ini menggunakan tekhnik triagulasi data. Triagulasi data adalah teknik pemeriksaan keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu yang lain di luar data itu untuk keperluan pengecekan sebagai pembanding data(moeleng,2007: 330)
Teknik Triagulasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah pemeriksaan sumber, dilakukan dengan mengadakan pengecekan dari data yang diperoleh melalui pengamatan dan wawancara dengan sumber informasi lain atau hasil penelitian lain sebagai pembanding. Dalam penelitian ini digunakan dua cara yaitu: membandingkan data hasil pengamatan dengan data hasil wawancara dan membandingkan perspektif dari kajian pustaka dengan kenyataan yang ada.

6. Teknik Pengolahan dan Analisis Data
Data, fakta atau informasi yang diperoleh kemudian diolah dengan cara menguraikan secara naratif dalam bentuk teks. Data yang telah diolah kemudian ditafsirkan dengan menggunakan metode analisis data. Analisis data dalam studi ini mengikuti model interaktif dari Mattew B. Miles dan A. Michael Haberman (1999) yang terdiri dari kegiatan pengumpulan data, reduksi data, penyajian data, dan penarikan simpulan/verifikasi[2].

Pengumpulan data dimulai dari kegiatan melakukan studi dokumen terhadap buku-buku jurnal, artikel, makalah yang relevan dengan masalah ini dan dilanjutkan dengan kegiatan wawancara dan observasi terhadap subjek penelitian (masyarakat lereng gunung merapi), informan dan nara sumber. Data yang diperoleh dari lapangan kemudian dianalisis berdasarkan tema/permasalahan penelitian. Analisis ini dilakukan dengan cara mengkorelasikan intisari-intisari sumber bacaan sebagai hasil pengolahan dan penafsiran data, fakta atau informasi. Pada tahapan ini, dikaitkan pula antara data yang tersedia dengan teori-teori yang relevan. Berdasarkan hasil korelasi tersebut, maka diungkap permasalahan-permasalahan, kelemahan-kelemahan, kelebihan-kelebihan atau manfaat-manfaatnya. Permasalahan yang ditemukan itu kemudian dicari alternatif pemecahannya. Pemecahan masalah dilakukan dengan cara mengkorelasikan kelemahan dan kelebihan dari cara-cara yang telah ada. Berdasarkan hasil analis isi itu kemudian dilakukan penafsiran-penafsiran sehingga ditemukan maknanya (meaning) atas fenomena yang ada.


PEMBAHASAN DAN HASIL PENELITIAN
Sebelum Islam datang di tanah jawa, di wilayah ini sudah diduduki oleh berbagai kerajaan yang bercorak hindu budha. Seperti Kerajaan Tarumanegara di Jawa Barat tahun 500 M (kerajaan Hindu), Kerajaan Kalingga di Jepara tahun 640 M (Kerajaaan Budha) kerajaan Mataram di Jawa Tengah tahun 732 M (Kerajaan Hindu), Kerajaan Singasari di Jawa Timur tahun 1222-1292, dan Kerajaan Majapahit di Jawa Timur pada tahun 1293-1500 M (Kerajaan Hindu Budha).[3]

Dengan dijadikannya agama Hindu Budha sebagai agama resmi kerajaan, maka rakyat pun juga menganut dan memeluk agama tersebut. Agama ini memberikan pengaruh yang sangat luas terhadap perkembangan perilaku dan budaya masyarakat Jawa. perilaku religiustik yang dibingkai dalam bentuk ritual-ritual keagamaan menjadi kegiatan rutin yang dilakukan oleh masyarakat Jawa dahulu. Kebiasaan penganut Hindu Budha yang menjalankan ibadahnya melalui ritual-ritual seperti ini yang lazim disebut sebagai budaya Hindu Budha.

Ketika Islam datang ke tanah jawa sekitar tahun 1400 M, kedatangan Islam juga turut andil dalam mewarnai perilaku dan budaya masyarakat Jawa. keberhasilan Islam menjadi agama yang dianut oleh hampir seluruh masyarakat Jawa tidak terlepas dari peranan Wali Sanga. Wali Sanga menyadari bahwa masyarakat Jawa saat itu masih menganut kepercayaan Hindu Budha, sehingga tidak mungkin jika Islam sebagai agama baru memberlakukan norma-norma agama untuk melarang setiap ibadah Hindu Budha yang bertentangan dengan Islam.

Maka salah satu metode yang sangat dikenal sampai sekarang yang digunakan oleh Wali Sanga yaitu dengan menggunakan metode pendekatan budaya dalam penyebaran Islam. Ritual-ritual keagamaan yang biasa dilakukan oleh masyarakat Jawa tetap dipertahankan, tapi substansi dari ritual-ritual tersebut diubah dengan memasukkan nilai-nilai keislaman. Corak Islam yang melebur dalam ritual-ritual keagamaan Hindu Budha tercermin dari pelafalan ayat-ayat al-Quran yang dibaca sebagai pengantar dalam pelaksanaan ritual tersebut.

Peleburan antara dua budaya itu sering disebut sebagai akulturasi budaya Islam-Jawa. Akulturasi di sini dapat diartikan sebagai percampuran dua kebudayaan atau lebih yang saling bertemu dan saling memengaruhi atau proses masuknya pengaruh kebudayaan asing dalam suatu masyarakat, sebagian menyerap secara selektif sedikit atau banyak unsur kebudayaan asing itu dan sebagian berusaha menolak pengaruh itu.[4] Dari pengertian ini, maka dapat disimpulkan bahwa dua budaya yang saling bertemu tersebut akan menampakkan keduanya dan tidak menghilangkan salah satunya. 

Akibat dari akulturasi tersebut, Walaupun masyarakat di Yogyakarta sebagian besar merupakan pemeluk agama Islam, tetapi masih juga melaksanakan beberapa tradisi secara turun-menurun. Rangkaian upacara tradisi tersebut masih banyak dipengaruhi oleh tatacara Hindu, Budha, dan Kebudayaan Jawa (kejawen), dengan upacara yang sering dilakukan adalah yang berhubungan dengan lingkaran/daur hidup manusia serta upacara adat lainnya. Berhubungan dengan lingkungan hidup manusia secara tradisional, masyarakat Jawa melakukan beberapa tahapan upacara lingkaran hidup, yaitu upacara kelahiran, masa dewasa, perkawinan dan diakhiri dengan upacara kematian.[5]

Sesuai dengan pandangan masyarakat Yogyakarta, pada konsep keselarasan dan ketentraman batin, maka dikenal juga berbagai upacara yang berhubuhngan dengan aktivitas kehidupan mereka. Upacara tersebut biasa disebut dengan Labuhan. Yaitu upacara yang dilaksanakan oleh Keraton Yogyakarta berupa pemberian atau persembahan (pingsungsung) yang merupakan suatu ungkapan yang bersifat religius yang dilakukan di tempat-tempat tertentu, yang mana menurut kepercayaan pernah terjadi peristiwa-peristiwa tertentu berkenaan dengan para leluhur raja.[6]


a. Sejarah Upacara Adat Labuhan Merapi
Upacara adat termasuk dalam folklor sebagian lisan. Folklor sebagian lisan adalah folklor yang bentuknya merupakan campuran unsur lisan dan bukan lisan (Danandjaja, 2002:195). Pada pelaksanaan upacara adat dibutuhkan ubo rampe atau sesaji. Sesaji merupakan aktualisasi dari pikiran, keinginan, dan perasaan pelaku untuk lebih mendekatkan diri kepada Tuhan. Sesaji juga merupakan wacana simbol yang digunakan sebagai sarana untuk negosiasi spiritual kepada hal-hal gaib. Hal ini dilakukan agar makhluk-makhluk halus di atas kekuatan manusia tidak mengganggu. Dengan pemberian makan secara simbolik kepada roh halus, diharapkan roh tersebut akan jinak, dan mau membantu hidup manusia (Endraswara, 2003b:195).[7]

Budaya ritual labuhan merapi di Yogyakarta telah dilakukan ratusan tahun yang lalu sejak kesultanan Mataram Islam berdiri masa pemerintahan Panembahan Senopati 1587-1601 turun temurun hingga sekarang. Awal proses sejarah ritual labuhan merapi cukup panjang tidak lepas dari kisah perjalanan hidup Panembahan Senopati sebagai pendiri kesultanan Mataram Islam dan peletak dasar-dasar kesultanan Mataram Islam. Peristiwa ritual labuhan merapi berawal dari pertemuan Panembahan Senopati dengan ratu nyai Lorokidul penguasa laut selatan dalam tapa ngeli dikawasan pura cepuri tempat ini berupa batu gilang pantai parang kusumo. Pertapaan tersebut dimaksudkan agar Panembahan Senopati memperoleh pertolongan untuk menjaga ketentraman rakyatnya. Karena pada saat itu sedang berlangsung peperangan yang dilakukan oleh desa Mataram terhadap kerajaan Pajang Untuk menjadikan Mataram sebagai sebuah kerjaan. 

Karena jiwa bersih dan kesucian Panembahan Senopati, singgahsana Nyai Lorokidul terguncang. Kemudian terdengar kabar bahwa terguncangnya singgahsana Nyai Lorokidul disebabkan oleh seseorang yang bertapa di kawasan pantai selatan. Mendengar kabar tersebut Nyai Rorokidul menemui Panembahan Senopati yang sedang bertapa. Pertemuan tersebut memperoleh kesepakatan bahwa Nyai Lorokidul akan membantu Panembahan Senopati untuk menjaga rakyatnya dengan imbalan Panembahan Senopati bersedia mempersunting Nyai Lorokidul. Ketika hendak pulang ke keraton, Panembahan Senopati diberi telur jagad sebagai tanda keseriusan hubungan mereka, telur tersebut diberikan dengan maksud agar dimakan Panembahan Senopati sesampainya di keraton.

Tetapi setelah sampai di keraton, oleh penasehat raja, telor jagad yang diberikan Nyai Lorokidul dilarang untuk dimakan. Untuk menghindari sesuatu yang tidak diinginkan, maka telur jagad tersebut diberikan kepada juru taman. Setelah dimakan, juru taman tadi menjadi raksasa. Kemudian juru taman dipindah oleh Panembahan Senopati ke kawasan gunung merapi sebagai penjaga gunung merapi sejak itulah juru taman yang menjadi raksasa tadi diberi gelar kyai Sapu Jagad. 

Semenjak itulah terjadi perjanjian antara Panembahan Senopati dengan kyai Sapu Jagad yakni kesediaan Panembahan Senopati dan raja-raja Mataram beserta keturunannya bertanggung jawab memberi sesaji terhadap kyai sapu jagad dengan melakukan labuhan merapi setiap tahun agar rakyat mataram dilindungi dari segala bencana maupun marabahaya disamping memperingati peringatan tahta raja keraton Yogyakarta Sri Sultan Hamengkubuwono X, upacara adat labuhan merapi ini dilakukan setiap tanggal 30 rajab. ada kemungkinan nyepinya panembahan senopti ini karena ingin meminta ptunjuk kepada Allah untuk mendirikan kerajan matram (memerderkakan mataram dari pajang) dan sedang terjadi pemberontakan antara mataram dengan pajang. (topo ngeli adalah Salah satu laku kejawen untuk menuju Allah "ngeli neng ora keli" artinya adalah mengikuti arus sungai tapi tidah hanyut, laku ini sering dilakukan Sunan Muria).

b. Prosesi Upacara Adat Labuhan Merapi
Malam hari sebelum keberangkatan menuju gunung merapi, masyarakat di sekitar lereng merapi tepatnya di kediaman rumah mbah Marijan mengadakan kenduri selamatan. Di dalam proses kenduri tersebut terdapat tetembangan yang dibacakan oleh juru kunci merapi. Adapun arti yang dapat peneliti pahami dari tetembangan tersebut adalah sebagai berikut:
a. Menceritakan upacara adat labuhan yang di lakukan setiap tahun yang dilaksanakan di pantai parang kusuma , merapi dan keraton;
b. Untuk mengirim/memberikan sesuatu kepada para penunggu/pengurus kerajaan merapi;
c. Meminta keslamatan kepada Allah dan memohon maaf atas dosa-dosa yang dilakukan di tahun-tahun sebelumnya;
d. Meminta supaya para korban merapi diberikan ampunan, menerima berkah berupa kemulyaan di Akhirat;
Selain itu, di dalam kenduri tersebut juga disertai berbagai barang-barang sesajen seperti, ayam panggang dan ulam sari, nasi golong, jenang baro-baro, netonan, ameng-ameng (among-among) dan bungan setaman. 

Prosesi dilanjutkan esok hari, dimulai pada pukul 06.00 WIB juru kunci merapi beserta rombongan abdi dalem berjalan bersama-sama menuju pos satu yang dipimpin oleh sang juru kunci merapi, setibanya di pos satu (timanganti), sebuah tempat berupa punden berundak. Semua uburampe seperti kembang setaman, payung, kotak merah (kotak ledi merapi), buah-buahan/hasil bumi, ingkung diturunkan dan dilanjutkan dengan membakar kemenyan. 

Di timanganti ini terdapat beberapa ritual yang intinya adalah berdoa memuji agar diberikan kesejahteraan, dan ketentraman, meminta ijin kepada sang penjaga merapi untuk melanjutkan upacara menuju pos selanjutnya, dan merenung serta memohon ampun kepada Allah atas dosa yang telah diperbuat.

Setelah selesai prosesi di timanganti (pos 1) kemudian melanjutkan perjalanan ke Bangsal Sri Manganti sebagai puncak rangkaian acara upacara labuhan. upacara pokok adat Labuhan Merapi dimulai setelah rombongan abdi dalem Punokawan Kraton Yogyakarta yang dipimpin Juru Kunci Gunung Merapi Kliwon Suraksohargo (Pak Asih) sampai Bangsal Sri Manganti. Puluhan abdi dalem ini membawa sesajen berupa sego gurih (nasi lezat) dan lauk pauk berupa daging ayam rebus. Selain itu mereka juga membawa 10 macam ubo rampe yang hendak “diberikan” kepada delapan “pengurus kerajaan Gunung Merapi” atau Hargo Merapi. 10 macam ubo rampe itu dikeluarkan dari kotak Redi Merapi berwarna Merah.

Upacara adat Labuhan Merapi dimulai dengan meletakkan sesajen dan ubo rampe pada batu Bangsal Sri Manganti. Satu per satu kain penutup sesajen, kembang setaman dan kemenyan dibuka. Demikian pula kotak Redi Merapi dibuka dua orang abdi dalem memakai obeng. Di dalam kotak tersebut ada ubo rampe berupa kain dengan warna dan nama berbeda-beda, wewangin dan uang.

Salah satu abdi dalem mengambil menunjukkan kepada abdi dalem dan masyarakat serta menyebutkan nama-nama ubo rampe tersebut. Nama-nama ubo rampe tersebut adalah Peningset Udaraga, Desthar Doro Muluk, Sinjang Poeleng Ciut, Semekan Bangun Tulak, Semekan Gadung Mlati, Semekan Gadung, Sinjang Kawung Kemplang, Sinjang Cangkring, Ses Wangen (Sekarkonyoh 1 kantong), Arto Tindeh serta Kambil Watangan. 

Semua ubo rampe dikeluarkan dari kotak, berikutnya dilakukan pembacaan ulang ubo rampe dan kepada siapa saja ubo rampe itu diberikan serta tujuannya apa ubo rampe itu diberikan oleh Juru Kunci Gunung Merapi, Pak Asih membacakan “pengurus kerajaan Gunung Merapi” atau Hargo Merapi yaitu Eyang Sapu Jagat, Eyang Empu Romo, Empu Rahmadi, Eyang Megantoro, Branjang Kawat, Nyai Gadung Mlati, Bromo Dedali, Panembahan Prabu Jagat, Fario Warli serta Krincing Wesi.

setelah disebutkan satu persatu peruntukan ubu rampe ditujukan, juru kunci merapi memberikan pengantar dalam bahasaa jawa “Saksampune kacaosi mugi kerso nyuwunaken dongo dumateng Gusti Allah ingkang moho Agung inggih puniko; Panjangipun Yuswo dalem (HB X), panjangipun yuswo garwo lan putro dalem, panjangipun yuswo sentono dalem, raharjaning kawulo dalem ing Ngayogyakarta Hadiningrat.” Artinya, setelah diberi (ubo rampe) bersedialah memintakan doa kepada Allah Yang Maha Agung berupa panjang umur Sri Sultan HB X, panjang umur istri dan putri Sri Sultan HB X, panjang umur kerabat Kraton Yogyakarta, kesejahteraan masyarakat Yogyakarta.

Kemudian upacara dilanjutkan dengan pembacaan doa meminta keselamatan dan kebahagiaan hidup yang dipimpin Pak Asih. Sebelumnya, abdi dalem Sulakso Rejoso maju mendekati batu besar Sri Manganti untuk berdoa dalam bahasa Jawa seraya membakar kemenyan. Membakar kemenyan itu biasanya diniatkan sebagai “talining Dzat ingkang Maha Kuwaos” (sebagai tali pengikat keimanan. Nyalanya diharapkan sebagai cahaya kumara, asapnya diharapkan sebagai bau-bauan surga, dan agar dapat diterima oleh Tuhan Yang Maha Kuasa). Memerhatikan niat tersebut maka dapat dipahami bahwa pembakaran kemenyan dalam ritual mistik sebagian kaum muslim Jawa, atau memasukannya sebagai unsur mistik bukanlah laku yang musyrik, seperti yang dituduhkan sebagian muslim yang merasa lebih puritan, atau sebutlah kearab-araban. Pada zaman Nabi Ibrahim AS. Jika sudah ada kebiasaan membakar kemenyan. Untuk zaman nabi Muhammad SAW., pembakaran kemenyan sering digantikan dengan mengenakan bau-bauan yang harum, yang dinyatakan sebagai “disukai oleh Allah”. Baik kemenyan maupun wangi-wangian esensinya sama, yakni untuk mendekatkan diri kepada Allah.[8]

Kemudian pak asih memimpin doa dengan mengawali doa dengan mengajak semua abdi dalem membaca surat Al Fatehah bersama-sama. Setelah itu dibacakan doa sapu jagat dalam bahasa Arap dan bahasa Jawa oleh Pak Asih. Upacara dilanjutkan penanaman satu batang pohon kanthil muda yang dilakukan dua abdi dalem Punokawan pada tanah yang agak tinggi didepan batu Sri Manganti. Sembari penanaman pohon dilakukan, abdi dalem Punokawan putri dan putra bersiap menyajikan sesaji nasi gureh dan daging ayam dengan membagi-baginya ke dalam kantong plastik kecil. Abdi dalem yang lain memasukkan kembali ubo rampe kedalam kotak Redi Merapi. Upacara dilanjutkan dengan memberikan sesaji kepada masyarakat, wisatawan bahkan juga Tim SAR dan anggota pengaman swakarsa serta relawan.

c. Makna Filosofi yang Terkandung dalam Barang-Barang Upacara Adat Labuhan Merapi 
Di dalam prosesi tirakatan Upacara adat Labuhan Merapi terdapat barang sesajen dalam bentuk makanan yang mempunyai makna filosofi. Berdasarkan hasil wawancara peneliti dengan salah satu abdi dalem mengatakan bahwa:[9]

1. Ayam panggang dan Ulam sari yang sering disebut ingkung : hal ini melambangkan ketulusan dalam melaksanakan upacara labuhan merapi serta kerelaan berkorban baik waktu maupun tenaga untuk melaksanakan upacara labuhan tersebut;

2. Nasi golong yaitu nasi yang dibentuk menyerupai bola mempunyai makna kebulatan hati dan tekat;

3. Jenang baro-baro merupakan bubur beras yang diberi parutan kelapa dan air gula merah (juruh) bubur ini ditunjukkan kepada nabi Mikhael yang memberikan kemakmuran;

4. Netonan, berupa bubur beras putih dan bubur merah yang melambangkan kejayaan bangsa indonesia dengan bendera merah putih;

5. Ameng-ameng (among-among) :melambangkan pribadi yang bermacam-macam yang melaksanakan upacara adat ini tapi dapat bersatu;

6. Bunga setaman seperti mawar,melati kanthil dan kenanga yang artinya bahwa apa yang dipersembahkan merupakan persembahan yang baik, (harum) sehingga diharapkan akan diterim oleh Allah SWT;

d. Nilai-Nilai Kearifan Lokal Dalam Upacara Adat Labuhan Merapi 
Jika dipahami secara mendalam serangkaian upacara adat labuhan merapi yang dilaksanakan setiap tanggal 30 Rajab pada dasarnya ingin menjelaskan kepada kita bahwa upacara ini mempunyai nilai-nilai kearifan lokal yang harus tetap dijaga dan dilestarikan. Adapun nilai-nilai kearifan lokal yang dapat dipetik dari upacara adat labuhan merapi adalah pertama, upacara adat labuhan Merapi ini merupakan salah satu wujud nyata sinergi antara alam, manusia dan tumbuhan dalam suatu kerjasama dengan tujuan saling menjaga keselamatan. Kedu, Pemberian sesaji dimohonkan agar makhluk-makhluk halus ikut mendoakan kesejahteraan masyarakat Yogyakarta menunjukkan hubungan baik antara jin dan manusia dan meyakini bahwa mereka ada dan ikut menyembah Allah. Hal ini sejalan dengan Bunyi ayat al-Quran surat ad-Dzariyat ayat 56 yang artinya “Dan tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia kecuali agar menyembah-Ku. ” Ibnu Katsir menerangkan ayat ini bahwa, “Allah menciptakan manusia dan jin agar mereka menyembah-Nya “. (Tafsir Ibnu Katsir surat Ad Dzariyat : 56). Ibadah yang penting untuk diketahui adalah ibadah hati seperti do’a, takut, berharap, tawakal, cinta dan lain-lain. Semua bentuk ibadah yang agung itu haruslah ditujukan kepada Allah semata.[10] Ketiga, Pak Asih memberi keterangan bahwa doa-doa yang dipanjatkan dalam upacara Labuhan Merapi memiliki harapan supaya wilayah lereng Gunung Merapi seperti Kinahrejo Cangkringan pada khususnya dan wilayah Yogyakarta pada umumnya aman, tentram, damai dan selamat. “Walaupun misalnya Gunung Merapi ada gejolak, tapi tetap diharapkan daerah Yogyakarta aman tentramm subur, makmur. Amien, menunjukkan adanya hubungan denga dengan sang pencipta (hablum minallah). Keempat, adanya penanaman pohon kanthil yang dilakukan saat upacara Labuhan Merapi, pak Asih menjelaskan pohon kanthil itu artinya kumanthil-manthil, supaya manusia selalu dekat dengan alam. Kelima, upacara adat labuhan merapi ini juga mengajarkan kepada kita betapa pentingnya toleransi, tolong menolong,tidak membeda-mbedakan derajat manusia, saling berkorban dan kegotong royongan, hal ini terbukti dengan kerelaan mereka dalam mendaki terjalnya gunung puluhan kilometer tidak memandang tua, anak-anak, muda, wanita kaya maupun miskin, mereka tetap tertip dan khitmat di dalam mengikuti upacara adat labuhan tersebut.

e. Norma Adat yang Terdapat dalam Upacara Adat Labuhan Merapi 
Terdapat norma-norma adat yang harus dipatuhi oleh setiap warga lereng merapi khususnya dan masyarakat Yogyakarta pada umumnya yang mengikuti proses upacara ini. Adapun norma-norma tersebut di antaranya adalah Terdapat larangan untuk memetik, membawa dan merusak tanaman di lereng gunung merapi pada saat dilaksanakannya upacara adat labuhan dan ketika itu dilanggar akan membawa marabahaya bagi pelakunya. Masyarakat percaya ketika tidak di laksanakannya upacara adat labuhan merapi ini akan berdampak negatif bagi masyarakat Yogykarta khususnya lereng Gunung Merapi.[11] 

Kemudian, peneliti juga sempat mengamati antusiasme warga untuk mengambil berkat (kepelan nasi gurih dan tetelan ingkung) sangat tinggi, mereka masih menganggap jika mendapatkan benda-benda tersebut akan mendapatkan berkah berupa kesehatan, rizki dan ketentraman dan ini yang dirasakan oleh mayoritas warga yang menghadiri upacara tersebut, terbukti mereka rela mendaki terjalnya gunung puluhan kilometer untuk mendapatkan benda-benda tersebut, tidak memandang tua, anak-anak, muda, wanita kaya maupun miskin saling tolong menolong dalam mencapai tujuan tersebut.

f. Persepsi Masyarakat Terhadap Upacara Adat Labuhan Merapi
Adanya upacara adat labuhan merapi tersebut tentunya sangat mempengaruhi cara pandang masyarakat Yogyakarta. Dari beberapa hasil wawancara kami kepada warga yang mengikuti kegiatan upacara adat labuhan merapi, diperoleh beberapa pemahaman dalam memaknai upacara adat labuhan merapi. 

Di antaranya adalah Pertama, masyarakat percaya dengan mengikuti upacara adat labuhan merapi, bertujuan untuk ngalap berkah supaya keluarganya diberi ketentraman kesehatan dan rizki yang berlimpah. Kedua, disamping itu, tujuan mereka datang adalah untuk mendapatkan barang-barang yang berupa nasi kepel (bungkusan yang berisi nasi gurih dan potongan daging ingkung) yang dipercaya akan menambah ketentraman, rizki, dan kesehatan bagi keluarganya. Ketiga, masyarakat juga percaya ketika tidak dilaksanakan upacara adat labuhan merapi ini akan menimbulkan malapetaka bagi masyarakat Yogyakarta, dan khususnya masyarakat lereng Gunung Merapi. Keempat, penulis mendapati ada seorang ibu yang memohon kesembuhan atas penyakit yang dideritanya kepada sang juru kunci Merapi, setelah dikonfirmasi kepada Bapak Asih (Juru Kunci Merapi) beliau mengatakan, memang sebagian masyarakat percaya bahwa sang juru kunci merapi dipercaya dapat mengabulkan doa mereka tetapi hal itu tidak benar, beliau juga berkata bahwa yang dapat menyembuhkan hanyalah Allah SWT bukan sang Juru Kunci dan sang juru kunci hanya membantu untuk mendoakan. 

g. Pengaruh Upacara Adat Labuhan Merapi terhadap Ajaran Agama Islam

Keberadaan Upacara adat labuhan Merapi ini tidak terlepas dari sejarah penyebaran ajaran agama Islam di pulau Jawa khususnya Yogyakarta, yang dibarengi dengan berdirinya kerajaan Mataram Islam. Ajaran Islam sendiri muncul dan berkembang dengan cara mengakulturasikan budaya yang sudah hidup di dalam masyarakat Jawa dengan budaya Islam sesuai dengan syari’at al-Qur’an. Karena akulturasi tersebutlah terjadi pengemasan budaya -budaya asli masyarakat jawa dengan menambah atau mengurangi prosesi upcara adat tanpa menghilangkan inti dari bentuk budaya tersebut, hal ini dilakukan agar terjadi kesesuaian makna antara budaya adat masyarakat Jawa asli dengan ajaran Agama Islam tanpa menghilangkan budaya asli tersebut. Dengan demikian sangat dimungkin upacara adat labuhan merapi ini akan berpengaruh pada ajaran agama Islam masyarakat lereng merapi seiring dengan berjalannya waktu. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya Upacara adat Labuhan Merapi ini merupakan salah satu bentuk nyata akulturasi antara budaya asli Jawa dengan nilai-nilai Islam, berikut merupakan pengamatan peneliti tentang pengaruh Upacara Adat Labuhan Merapi Ini terhadap Ajaran Agama Islam masyarakat :

1. Tidak mempengaruhi tata cara beribadah kepada Allah.

2. Mempengaruhi presepsi pandangan masyarakat terutama dalam hal pemohonan sesuatu.

3. Masyarakat percaya ketika mendapatkan barang-barang upacara adat labuhan itu akan mendapatkan sesuatu yang positif yang di akibatkan dari barang-barang yang dilabuh dalam upacara adat tersebut. Seperti tambah rizki, kesehatan, ketentraman dan lain-lain.[12]

4. Masyarakat juga percaya ketika tidak dilaksanakannya upacara adat labuhan ini akan berakibat fatal bagi kehidupan masyarakat Yogyakarta dan khususnya lereng merapi, sebab mereka meyakini bahwa si penjaga merapi akan marah jika tidak diberi persembahan berupa barang-barang yang dilabuh tersebut.[13]

5. Masyarakat juga meyakini dengan mengukuti upacara adat labuhan merapi ini akan berdampak positif bagi kehidupannya seperti ketenangan jiwa dalam mengais rizky, dagangan menjadi semakin laris dsb, hal ini terbukti dengan kerelaan mereka meninggalkan pekerjaan sehari-harinya untuk mengikuti upacara Adat Labuhan Merapi.[14]

Kesimpulan
Dari hasil penelitian yang telah penulis uraikan di atas maka dapat diambil kesimpulan bahwa :
1. Hubungan makna filosofi dengan ajaran Islam terdapat dalam makna barang – barang yang berada di dalam upacara adat labuhan merapi tersebut yang melambangkan suatu sikap manusia yang ideal yang perlu kita tiru yakni: ketulusan hati, rela berkorban untuk sesama (terdapat pada makna ingkung), ketika kita ingin mendapatkan sesuatu yang diinginkan maka diperlukan kebulatan tekat (terdapat pada makna nasi golong), selalu bersyukur atas kemakmuran yang diberikan oleh tuhan (terdapat pada makna jajanan pasar/buah-buahan), persatuan dan persaudaraan yang harus dijaga tanpa membeda-mbedakan latar belakang pribadi (terdapat pada makna among-among) serta, pada saat kita ingin memberikan segala sesuatu kepada sesama, berikanlah barang yang baik (harum) dan ketika berdoa lakukanlah dengan penuh kesucian (di lambangkan dengan adanya bunga setaman). Dari semua makna barang ubarampe tersebut tidak ada satupun yang bertentangan dengan ajaran agama islam. selain itu, pemberian sesaji/ubarampe (Peningset Udaraga, Desthar Doro Muluk, Sinjang Poeleng Ciut, Semekan Bangun Tulak, Semekan Gadung Mlati, Semekan Gadung, Sinjang Kawung Kemplang, Sinjang Cangkring, Ses Wangen (Sekarkonyoh 1 kantong), Arto Tindeh serta Kambil Watangan) dimohonkan agar makhluk-makhluk halus ikut mendoakan kesejahteraan masyarakat Yogyakarta menunjukkan hubungan baik antara jin dan manusia dan meyakini bahwa mereka ada dan ikut menyembah Allah ( sesuai dengan surat adz-zariat ayat 56)

2. Terdapat beberapa nilai-nilai kearifan lokal dalam upacara labuhan merapi. Pertama, Pemberian sesaji dimohonkan agar makhluk-makhluk halus ikut mendoakan kesejahteraan masyarakat Yogyakarta sebagai bentuk hubungan baik antara jin dan manusia dan meyakini bahwa mereka ada dan ikut menyembah Allah ( sesuai dengan surat adz-zariat ayat 56). Kedua, doa-doa yang dipanjatkan dalam upacara Labuhan Merapi memiliki harapan supaya wilayah lereng Gunung Merapi seperti Kinahrejo, Cangkringan, pada khususnya dan wilayah Yogyakarta pada umumnya aman, tentram, damai dan selamat. Hal ini menunjukkan adanya hubungan denga dengan sang pencipta (hablum minallah). Ketiga, Adanya penanaman pohon kanthil yang dilakukan saat upacara Labuhan Merapi, Pak Asih menjelaskan pohon kanthil itu artinya kumanthil-manthil, supaya manusia selalu dekat dengan alam. Keempat, upacara adat labuhan merapi ini juga mengajarkan kepada kita betapa pentingnya toleransi, tolong menolong, tidak membeda-mbedakan drajat manusia, saling berkorban dan kegotong royongan, hal ini terbukti dengan kerelaan mereka dalam mendaki terjalnya gunung puluhan kilometer tidak memandang tua, anak-anak, remja, wanita kaya maupun miskin, mereka tetap tertib dan khitmat di dalam mengikuti upacara adat labuhan tersebut.

3. Berdasarkan wawancara peneliti dengan beberapa warga lereng merapi, upacara adat labuhan merapi tidak mempengaruhi tata cara beribadah kepada Allah. Namun, mempengaruhi presepsi pandangan masyarakat terutama dalam hal pemohonan sesuatu. Masyarakat percaya ketika mendapatkan barang-barang upacara adat labuhan itu akan mendapatkan sesuatu yang positif yang diakibatkan dari barang-barang yang dilabuh dalam upacara adat tersebut. Seperti tambah rizki, kesehatan dan ketentraman. Selain itu, Masyarakat juga mempercayai ketika tidak dilaksanakannya upacara adat labuhan ini akan berakibat fatal bagi kehidupan masyarakat Yogyakarta dan khususnya lereng merapi, sebab mereka meyakini bahwa penjaga merapi akan marah jika tidak diberi persembahan berupa barang-barang yang dilabuh tersebut. kemudian dengan mengikuti upacara adat labuhan merapi ini akan berdampak positif bagi kehidupannya seperti ketenangan jiwa dalam mengais rizki, dagangan menjadi semakin laris. hal ini terbukti dengan kerelaan mereka meninggalkan pekerjaan sehari-harinya untuk mengikuti upacara Adat Labuhan Merapi.

4. Upacara adat labuhan merapi ini merupakan wujud implementasi dari nilai kearifan budaya lokal masyarakat Yogyakarta “Memayu Hayuning Bawana Ambrasta Dur Angkara", yang berarti tidak berbuat kerusakan, saling menjaga, memper cantik bumi dan mencegah angkara murka.

REFERENSI

Buku
Drs.Soemargono dkk, Profil Provinsi Republik Indonesia, Daerah Istimewa Yogyakarta,Yayasan bakti wawasan Nusantara, PT Intermasa Jakarta.
Mattew B. Miles dan A. Michael Haberman .1999.Analisis Data Kualitatif.Jakarta: UI Press. 
Moeleong, Lexy. J. 2007. Metedologi penelitian Kualitatif. Bandung : Remaja Rodakarya
Muhammad Sholikin, Ritual dan Tradisi Islam Jawa, Narasi, Yogyakarta: 2010.
Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, cet.3, 1990.
Sholikin, Muhamad, 2010, Ritual dan Tradisi Islam Jawa, Yogyakarta: Narasi, Yogyakarta: 2010.
Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, cet.3, 1990.

Jurnal
Annisaul, Dzikrun Ni mah, Makna Simbolik Ritual Sesaji Anak Gunung Kelud, journal online.pdf
Risalah Dakwah Al Atsari, Sesajen Adakah dalam Islam?, Cileungsi Edisi 13/Th. II 1420

Internet
www.adirafacesofindonesia.com/article.htm/741/ diakses pada tanggal 7 Oktober 2013, pukul 21:01:12
www.invir.com/kerajaan.html, diakses pada hari senin tanggal 02 Juni 2014 pukul 22:50.

Wanwancara
Wawancara dengan abdi dalem yang membacakan doa ketika kenduri pada tanggal 29 Mei 2013.
Di dapat dari wawancara dengan bapak bongki (54 tahun) 29 Mei 2014, warga sekitar lereng gunung merapi yang ikut berebut Uparampe dalam Upacara adat tersebut .
Wawancara dengan ibu Suginem (50 tahun) yang berasal dari Kasihan Bantul, pada 29 Mei 2014 di lokasi Upacara Adat Labuhan Merapi.
Wawancara dengan Bapak Asih sang juru kunci Merapi 13 maret 2014
Wawancara dengan KRT Rinto (pengageng Widya Budaya) 10 Juni 2014

[1]www.adirafacesofindonesia.com/article.htm/741/ diakses pada tanggal 7 Oktober 2013, pukul 21:01:12
[2]Mattew B. Miles dan A. Michael Haberman .1999.Analisis Data Kualitatif.Jakarta: UI Press. hlm. 15-20
[3] www.invir.com/kerajaan.html, diakses pada hari senin tanggal 02 Juni 2014
[4] Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, cet.3, 1990, hlm.18
[5]Drs. Soemargono dkk, Profil Provinsi Republik Indonesia, Daerah Istimewa Yogyakarta,Yayasan bakti wawasan Nusantara, PT Intermasa Jakarta, hlm. 90
[6]Ibid,hlm. 94-95
[7]Annisaul Dzikrun Ni mah, Makna Simbolik Ritual Sesaji Anak Gunung Kelud, journal online.pdf
[8]K.H. Muhammad Sholikhin ,Ritual dan Tradisi Islam Jawa, Narasi, Yogyakarta: 2010, hlm.50
[9] Wawancara dengan abdi dalem yang membacakan doa ketika kenduri pada tanggal 29 Mei 2013
[10] RisalahDakwah Al Atsari, Sesajen Adakah dalam Islam?, CileungsiEdisi 13/Th. II 1420
[11] dihimpun dari wawancara beberapa warga pada tanggal 29 Mei 2014 di lokasi upacara adat labuhan merapi (desa kinahrejo)
[12] Di dapat dari wawancara dengan bapak bongki (54 tahun) 29 Mei 2014, warga sekitar lereng gunung merapi yang ikut berebut Uparampe dalam Upacara adat tersebut .
[13] Ibid.,
[14] Wawancaara dengan ibu Suginem (50 tahun) yang berasal dari Kasihan Bantul, pada 29 Mei 2014 di lokasi Upacara Adat Labuhan Merapi 


mohon kalau mau dsebar luaskan cantumkan sumber asal terimakasih :)

Penulis : bedjo ~ Sebuah blog yang menyediakan berbagai macam informasi