Papua menjadi salah satu daerah yang istimewa bagi negara kesatuan Republik Indonesia. Tidak semua daerah atau provinsi mendapat pengakuan istimewa dari pemerintah pusat.
Gejolak yang kerap terjadi di Papua, secara tidak langsung mendorong pemerintah pusat untuk memberikan perhatian khusus bagi provinsi yang terletak di ujung timur wilayah negara kesatuan Republik Indonesia ini.
Melalui Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001, pemerintah pusat memberikan otonomi khusus bagi Provinsi Papua. Tidak hanya sebatas pengakuan, sebagai daerah otonomi khusus, setiap tahun pemerintah pusat selalu memberikan porsi anggaran triliunan rupiah untuk provinsi tersebut. Dana itu dianggarkan untuk pendidikan, kesehatan, hingga pemenuhan infrastruktur.
Meski sudah memberi otonomi khusus dan anggaran besar untuk Papua, pemerintah pusat tetap dinilai tidak peduli akan kondisi rakyat Papua yang masih jauh tertinggal dibanding masyarakat di pulau lain.
Hal lain yang menarik ketika berbicara soal Papua adalah keberadaan tambang emas terbesar di dunia yang kini berada di bawah cengkeraman PT Freeport. Keberadaan dan operasional Freeport Indonesia sejak 1967 hingga kini tak ubahnya mesin pencetak uang bagi perusahaan induknya, yakni Freeport McMoran di Amerika Serikat.
Namun, apa yang mereka berikan kepada rakyat Papua? Tak lebih dari dana sosial bertajuk Corporate Social Responsibility (CSR) yang umum dilakukan oleh semua perusahaan.
Dominasi Freeport di tanah Papua seolah tak goyah oleh apapun. Termasuk oleh pemerintah pusat.
DPR pun geram dengan lemahnya posisi pemerintah pusat manakala berhadapan dengan Freeport. Dalam rapat yang digelar di gedung DPR, Jumat (5/7), DPR membombardir pemerintah dengan berbagai pertanyaan dan pernyataan yang menggambarkan bahwa pemerintah pusat tak berdaya menghadapi Freeport.
"Masa harga diri bangsa di bawah perusahaan," sentil anggota Komisi VII DPR Ali Kastela.
Lima menteri yang hadir dalam pertemuan tersebut dibuat tak berdaya dengan berbagai penilaian terkait perhatian pemerintah pusat untuk Papua hingga soal tak berdayanya pemerintah terhadap Freeport.
Klaim pemerintah pusat bahwa selama ini selalu memperhatikan rakyat Papua, dinilai hanya omong kosong. DPR melihat, ada beberapa bukti pemerintah tidak memperhatikan kesejahteraan rakyat Papua. Berikut lima penilaian DPR terkait ketidakpedulian pemerintah pada rakyat Papua dan tak berdayanya pemerintah hadapi Freeport.
Gejolak yang kerap terjadi di Papua, secara tidak langsung mendorong pemerintah pusat untuk memberikan perhatian khusus bagi provinsi yang terletak di ujung timur wilayah negara kesatuan Republik Indonesia ini.
Melalui Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001, pemerintah pusat memberikan otonomi khusus bagi Provinsi Papua. Tidak hanya sebatas pengakuan, sebagai daerah otonomi khusus, setiap tahun pemerintah pusat selalu memberikan porsi anggaran triliunan rupiah untuk provinsi tersebut. Dana itu dianggarkan untuk pendidikan, kesehatan, hingga pemenuhan infrastruktur.
Meski sudah memberi otonomi khusus dan anggaran besar untuk Papua, pemerintah pusat tetap dinilai tidak peduli akan kondisi rakyat Papua yang masih jauh tertinggal dibanding masyarakat di pulau lain.
Hal lain yang menarik ketika berbicara soal Papua adalah keberadaan tambang emas terbesar di dunia yang kini berada di bawah cengkeraman PT Freeport. Keberadaan dan operasional Freeport Indonesia sejak 1967 hingga kini tak ubahnya mesin pencetak uang bagi perusahaan induknya, yakni Freeport McMoran di Amerika Serikat.
Namun, apa yang mereka berikan kepada rakyat Papua? Tak lebih dari dana sosial bertajuk Corporate Social Responsibility (CSR) yang umum dilakukan oleh semua perusahaan.
Dominasi Freeport di tanah Papua seolah tak goyah oleh apapun. Termasuk oleh pemerintah pusat.
DPR pun geram dengan lemahnya posisi pemerintah pusat manakala berhadapan dengan Freeport. Dalam rapat yang digelar di gedung DPR, Jumat (5/7), DPR membombardir pemerintah dengan berbagai pertanyaan dan pernyataan yang menggambarkan bahwa pemerintah pusat tak berdaya menghadapi Freeport.
"Masa harga diri bangsa di bawah perusahaan," sentil anggota Komisi VII DPR Ali Kastela.
Lima menteri yang hadir dalam pertemuan tersebut dibuat tak berdaya dengan berbagai penilaian terkait perhatian pemerintah pusat untuk Papua hingga soal tak berdayanya pemerintah terhadap Freeport.
Klaim pemerintah pusat bahwa selama ini selalu memperhatikan rakyat Papua, dinilai hanya omong kosong. DPR melihat, ada beberapa bukti pemerintah tidak memperhatikan kesejahteraan rakyat Papua. Berikut lima penilaian DPR terkait ketidakpedulian pemerintah pada rakyat Papua dan tak berdayanya pemerintah hadapi Freeport.
1. Infrastruktur Papua tak memadai
Meski anggaran triliunan rupiah selalu digelontorkan setiap tahun, kondisi infrastruktur di Papua masih jauh dibanding wilayah lain. Rakyat Papua menyampaikan tuntutan akan pemenuhan kebutuhan sarana dan prasarana.
Semisal pembukaan jalur internasional melalui bandara di Papua Barat. Selain itu, rakyat Papua juga minta pembangunan jalan Trans Papua, pembangunan jembatan Landmark atau jembatan di Kota Jayapura.
Rakyat Papua melalui Gubernur juga meminta peningkatan dana tambahan Otsus dan pembangunan rumah dan air bersih di Papua.
2. Tak peduli kesehatan dan pendidikan Papua
Pemerintah pusat juga disebut tidak pernah memikirkan masalah pendidikan dan kesehatan di Papua. Pemerintah seolah lepas tangan dalam upaya memajukan kualitas SDM Papua.
"Pendidikan jangan hanya kirim orang saja sekolah. Infrastrukturnya diperkuat bisa jadi seperti ITB, IPB. Orang Jawa seharusnya belajar ke Papua, itu baru betul Indonesia. Papua dimajukan cerminan bangsa Indonesia," kata Ali Kastela.
Dari segi kesehatan, pemerintah juga dinilai cuek dan tidak mau ambil pusing. Dalam programnya, pemerintah hanya memikirkan bagaimana cara menyembuhkan orang sakit, tapi tidak memikirkan bagaimana mencegah penyakit tersebut.
"Kesehatan, hanya orang sakit diobati. Sumbernya banyak dan tumbuh besar di sana. Angka kematian bayi masih 70 per 1000 kelahiran di Papua. Tingkat kesehatan masih rendah," tutupnya.
3. Alam Papua dirusak Freeport
Tim pemantau Otonomi Khusus Aceh dan Papua menyayangkan sikap pemerintah yang tak berdaya melawan kedigdayaan Freeport yang selama ini terus mengeruk hasil alam Indonesia. Tambang emas terbesar di wilayah Indonesia bagian timur itu sama sekali tidak memberikan kesejahteraan kepada masyarakat Papua.
Anggota Komisi X DPR Dias Gwijangge mengatakan, rakyat papua sama sekali tidak menikmati pajak dari Freeport. Sebab, Freeport selalu menyetor pajak ke pemerintah pusat di Jakarta.
"Hasil Freeport sudah diambil, kami tidak dapat apa apa. Kami hanya dapat kerusakan lingkungan," tutupnya.
4. Harga diri bangsa diinjak Freeport
Anggota Komisi VII DPR Ali Kastela menyentil Menko Perekonomian Hatta Rajasa yang belum berhasil melakukan negosiasi kontrak dengan Freeport. Menurutnya, negosiasi dengan Freeport bukan saja mengenai kebutuhan, tapi juga harga diri bangsa.
"Freeport bukan hanya kebutuhan Papua dan Indonesia, ini menyangkut hak azasi. Masa Freeport tidak memberikan hak wilayah kepada. Timika harus bisa memiliki saham di Freeport," ucap Ali.
Dia menegaskan, pemerintah jangan mau tunduk dengan Freeport. Sebab, persoalan ini adalah amanat UU sekaligus harga diri bangsa. Jika pemerintah kalah dengan Freeport, itu sama saja harga diri bangsa diinjak-injak oleh perusahaan asing.
"Masa harga diri bangsa di bawah perusahaan. Bagaimana renegosiasi melibatkan orang Papua agar memiliki saham di Freeport," katanya.
5. Rakyat Papua hanya ‘disuap’ CSR Freeport
Keberadaan tambang emas terbesar di dunia yang berada di Papua sama sekali tidak memberikan keuntungan pada masyarakat sekitarnya. Freeport sebagai pengelola hanya ‘menyuap’ masyarakat dengan dana CSR (Corporate Social Responsibility) atau dana bantuan dan bina lingkungannya.
Salah satu anggota DPR yang tergabung dalam tim pemantau Otonomi Khusus Aceh dan Papua, Irene Manibuy mengatakan, saat ini masyarakat Papua tidak membutuhkan dana CSR.
"Jangan kami hanya dikasih CSR Rp 1,3 triliun, jangan hanya CSR berdasarkan dividen hanya 1 persen dari pendapatan kotor. Kami butuh share dan mengatur sendiri pembangunan di sana, daerah kami," ucap Irene.
SUMBER
SUMBER