Bulan Ramadhan merupakan bulan yang agung di mata umat Islam. Kedatangannya pun disambut dengan meriah. Slogan Marhaban Yaa Ramadhan (selamat datang Ramadhan), diwujudkan dalam bentuk kegiatan yang bermacam-macam dan menjadi tradisi di suatu daerah. Adakalanya, tradisi tersebut mengundang kontroversi. Namun, bagaimanapun juga, toh tradisi itu telah melekat pada budaya kita. Meski lambat laun, tradisi itu berangsur punah.
1. Meugang (Nanggroe Aceh Darussalam)
Meugang merupakan hari penyembelihan hewan ternak. Kegiatan ini diadakan umumnya dua hari menjelang Ramadhan tiba. Pada hari itu, semua keluarga dekat berkumpul di rumah orang tua sembari menikmati masakan daging yang disediakan. Biasanya, anak dan cucu pulang ke rumah orangtua di hari Meugang seperti ini. Selain makan bersama, kegiatan ini juga dimanfaatkan sebagai sarana silaturahmi. Apalagi, anggota keluarga yang jauh pun turut hadir.
Biasanya, makanan yang disajikan berbahan dasar daging sapi. Imbasnya, harga daging melonjak tajam. Jika di hari biasa harga daging sapi berkisar antara 50-60 ribu Rupiah per Kg, menjelang Meugang, harga bisa mencapai 120 ribu Rupiah per Kg.
Biasanya, makanan yang disajikan berbahan dasar daging sapi. Imbasnya, harga daging melonjak tajam. Jika di hari biasa harga daging sapi berkisar antara 50-60 ribu Rupiah per Kg, menjelang Meugang, harga bisa mencapai 120 ribu Rupiah per Kg.
2. Malamang (Sumatera Barat, Riau & Sumatera Utara)
Lemang merupakan makanan khas Sumatera Barat yang banyak dijumpai saat Ramadhan tiba. Lemang terbuat dari beras ketan, santan, dan pisang. Penganan ini bisa disajikan sendiri ataupun bersama air tapai. Lemang juga bisa ditemukan di kota lain seperti Bandung atau Jakarta. Lemang juga biasa ditemukan di daerah yang masih terpengaruh budaya Melayu. Di bulan Ramadhan, Lemang jadi salah satu penganan yang diburu sepanjang Ramadhan.
Malamang tidak hanya sekadar membuat penganan. Tradisi ini memiliki makna untuk mempererat tali silaturahmi. Selain dikerjakan bersama-sama, lemang ini nantinya dibagikan ke sanak saudara, tetangga, juga mertua.
Malamang ini tidak hanya dikerjakan saat menjelang Ramadhan. Tradisi ini juga dilakukan saat perayaan hari besar lain, seperti pernikahan. Sayangnya, lambat laun tradisi ini mulai ditinggalkan oleh para pelakunya, sehingga dikhawatirkan tradisi ini akan punah secara perlahan.
3. Balimau (Sumatera Barat)
Secara harfiah, Balimau berarti berlimau dalam bahasa Indonesia. Menjelang Ramadhan, setiap orang mandi dan keramas, baik sendiri-sendiri maupun beramai-ramai. Pada awalnya, orang Minang menggunakan limau untuk mencuci rambutnya. Meskipun saat ini mereka tak lagi menggunakan limau, tradisi ini tetap dikenal sebagai Balimau. Kegiatan ini bermakna untuk mensucikan diri menyambut bulan Ramadhan.
Sayangnya, di pemandian umum yang banyak terjadi adalah campur baur antara laki-laki dan perempuan. Akibatnya niat yang baik pun bisa jadi rusak karena pelaksanaan yang justru melanggar syariat. Sebagai antisipasi terhadap hal ini, di beberapa pemandian, pemerintah setempat membuat pembatas antara laki-laki dan perempuan.
Sayangnya, di pemandian umum yang banyak terjadi adalah campur baur antara laki-laki dan perempuan. Akibatnya niat yang baik pun bisa jadi rusak karena pelaksanaan yang justru melanggar syariat. Sebagai antisipasi terhadap hal ini, di beberapa pemandian, pemerintah setempat membuat pembatas antara laki-laki dan perempuan.
4. Jalur Pacu (Riau)
Di Kabupaten Kuantan Singingi, Riau, masyarakatnya memiliki tradisi yang mirip dengan lomba dayung. Tradisi “Jalur Pacu” ini digelar di sungai-sungai di Riau dengan menggunakan perahu tradisional. Seluruh masyarakat akan tumpah ruah jadi satu menyambut acara tersebut.
5. Nyorog (Jakarta)
Dalam adat Betawi, Nyorog merupakan kebiasaan yang dilakukan menjelang Ramadhan. Bentuk kegiatannya, saling mengantar bingkisan untuk orang-orang yang dikasihi. Isi bingkisan macam-macam, bisa berupa makanan mentah atau matang. Tujuannya mempererat silaturahmi antara anggota keluarga dan kerabat.
Semakin terpingggirkannya masyarakat Betawi di Jakarta, secara tidak langsung membuat tradisi ini juga turut terpinggirkan.
Semakin terpingggirkannya masyarakat Betawi di Jakarta, secara tidak langsung membuat tradisi ini juga turut terpinggirkan.
6. Munggahan (Jawa Barat)
Secara bahasa Munggahan artinya naik. Maksud naik di sini adalah naik menuju bulan yang lebih tinggi, yaitu bulan Ramadhan. Munggahan diisi dengan kegiatan berkumpul kemudian makan bersama. Tujuannya jelas, bersilaturahmi dan berkumpul bersama keluarga, kerabat, dan sanak famili sebelum bulan Ramadhan tiba.
7. Nyadran (Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan DIY )
Bentuk utama kegiatan Nyadran adalah ziarah kubur. Tradisi ini diwariskan sejak zaman Walisongo, sebagai bentuk akulturasi Islam dengan budaya Jawa yang saat itu masih dalam pengaruh animisme. Tradisi Nyadran merupakan simbol adanya hubungan dengan para leluhur, sesama manusia, dan Yang Mahakuasa atas segalanya. Meski inti Nyadran adalah ziarah, kegiatan ini tidak melulu diadakan di makam. Kegiatan ini juga biasa diadakan di masjid atau mushola.
8. Padusan (Jawa Tengah, Jawa Timur, dan DIY)
Sama seperti Balimau di Sumatera Barat, Padusan bermakna mandi atau mensucikan diri. Bedanya, mandi dilakukan tanpa menggunakan limau. Saat Padusan, tempat-tempat yang berair seperti sungai, pantai, dan kolam renang, akan dipenuhi oleh warga. Mereka datang berbondong-bondong untuk melaksanakan ritus Padusan ini.
9. Ruwahan / Apeman (Jawa Tengah dan DIY)
Tradisi Ruwahan adalah tradisi yang sudah hidup dan berkembang di masyarakat yang dilakukan menjelang bulan puasa. Filosofi yang dipegang masyarakat dengan memasak kue tradisional itu adalah Apem, menyimbolkan permohonan maaf atas seluruh kesalahan dan dosa.